Ini kisah suami istri si tukang rujak. Dulu saat mangkal di depan Masjid LDII, kira-kira sampai awal tahun ini, saya sering mampir untuk membeli rujaknya. Kebetulan saya dan keluarga adalah penyuka rujak.
Menurut saya rujak buatan suami istri ini memang enak. Si istri yang kebagian mengulek bumbu, sedang suaminya bekerja mengupas dan memotong buah-buahan. Kalau dihitung-hitung lumayan sering mampir kala itu, selain enak, penjualnya juga ramah.
Sambil menunggu pesanan saya selesai, saya sering ngobrol dengan mereka. Pasangan baru menikah 2 tahunan, punya anak satu. Membiayai kehidupan dengan hanya berdagang rujak. Sesekali terselip keluhan, hasil berdagang rujak yang tidak seberapa dan mereka rasa kurang bisa memenuhi kebutuhan kehidupan. Apalagi anaknya yang minum susunya kuat.
Kalau saya lihat, meski rujak buatannya enak, tapi pembelinya kurang banyak. Mungkin tipikal masyarakat di sekitar sini memang 'kurang suka' jajan. Tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali memintanya untuk bersabar, berusaha dan bertawakal pada Yang Maha Memberi Rejeki.
Tak lama kemudian, masih di awal tahun ini, suami istri tukang rujak itu memutuskan pindah tempat mangkal, yaitu didepan Sekolah PSKD. Tidak jauh jaraknya, kurang lebih 25 Meter. Saya masih sering mampir setelah kepindahan itu. Namun lama-lama saya malas beli rujak di tempat dia. Bukan karena rujaknya ngga enak lagi, tapi karena antriannya makin lama makan panjang, sampai sampai yang jualan itu tidak keliatan, ketutup sama yang ngantri, sementara saya orang yang paling sering bilang 'Halah jaman sudah merdeka, mau makan saja pake ngantri'.
Lama ngga makan rujak, saya coba mampir untuk membeli rujak di tempat mereka. Seperti biasa, antriannya masih saja panjang. Niat saya, mau pesan, saya bayar lalu saya tinggal dulu untuk cuci motor. Habis cuci motor baru saya ambil rujaknya. Namun si suami tukang rujak bilang, nanti saja bayarnya. Lalu sayapun pergi untuk cuci motor yang tempatnya kurang lebih 25 meter dari tempat mereka berjualan.
Kira-kira 45 menit, motor saya selesai dicuci. Lalu saya ke tempat tukang rujak. Antriannya masih tetap panjang, tetapi sudah berganti orang.
Saya: "Bang, pesanan ane sudah jadi?"
Tukang rujak: "Kan baru tadi pesannya"
S: "Yah sudah lama kali bang, 45 menitan"
TR: "Bapak tau ngga, antriannya panjang sekali. Banyak yang mau beli. Bapak duduk saja antri disitu. Pasti cepat jadi."
Saya lihat wajahnya, busyettttt serem kenapa mukanya hitam matanya merah. Saya pun urung beli rujaknya.
Sambil menunggu pesanan saya selesai, saya sering ngobrol dengan mereka. Pasangan baru menikah 2 tahunan, punya anak satu. Membiayai kehidupan dengan hanya berdagang rujak. Sesekali terselip keluhan, hasil berdagang rujak yang tidak seberapa dan mereka rasa kurang bisa memenuhi kebutuhan kehidupan. Apalagi anaknya yang minum susunya kuat.
Kalau saya lihat, meski rujak buatannya enak, tapi pembelinya kurang banyak. Mungkin tipikal masyarakat di sekitar sini memang 'kurang suka' jajan. Tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali memintanya untuk bersabar, berusaha dan bertawakal pada Yang Maha Memberi Rejeki.
Tak lama kemudian, masih di awal tahun ini, suami istri tukang rujak itu memutuskan pindah tempat mangkal, yaitu didepan Sekolah PSKD. Tidak jauh jaraknya, kurang lebih 25 Meter. Saya masih sering mampir setelah kepindahan itu. Namun lama-lama saya malas beli rujak di tempat dia. Bukan karena rujaknya ngga enak lagi, tapi karena antriannya makin lama makan panjang, sampai sampai yang jualan itu tidak keliatan, ketutup sama yang ngantri, sementara saya orang yang paling sering bilang 'Halah jaman sudah merdeka, mau makan saja pake ngantri'.
Lama ngga makan rujak, saya coba mampir untuk membeli rujak di tempat mereka. Seperti biasa, antriannya masih saja panjang. Niat saya, mau pesan, saya bayar lalu saya tinggal dulu untuk cuci motor. Habis cuci motor baru saya ambil rujaknya. Namun si suami tukang rujak bilang, nanti saja bayarnya. Lalu sayapun pergi untuk cuci motor yang tempatnya kurang lebih 25 meter dari tempat mereka berjualan.
Kira-kira 45 menit, motor saya selesai dicuci. Lalu saya ke tempat tukang rujak. Antriannya masih tetap panjang, tetapi sudah berganti orang.
Saya: "Bang, pesanan ane sudah jadi?"
Tukang rujak: "Kan baru tadi pesannya"
S: "Yah sudah lama kali bang, 45 menitan"
TR: "Bapak tau ngga, antriannya panjang sekali. Banyak yang mau beli. Bapak duduk saja antri disitu. Pasti cepat jadi."
Saya lihat wajahnya, busyettttt serem kenapa mukanya hitam matanya merah. Saya pun urung beli rujaknya.
No comments:
Post a Comment