Thursday, April 28, 2011

Competition still Goes On

Adalah Mutakin dan Dadang, dua teman sepermainanku sedari kecil. Rumah kami saling berdekatan satu sama lain. Orang tua kami saling bersepupuan. Diantara kami bertiga Dadang lah yang paling tua, disusul Mutakin dan aku yang paling muda. Usia kami saling terpaut satu tahun, berarti Dadang 2 tahun lebih tua dariku.


Sayang tak banyak yang bisa kuceritakan tentang Dadang semenjak kami berpisah setelah menamatkan sekolah dasar. Dadang berpindah desa mengikuti tugas orang tuanya. Lama tak mendengar kabar darinya, suatu sore datang berita duka ke rumah. Dadang tewas tersengat listrik.

Beribu maaf teman sampai saat ini masih juga belum bisa menyambangi dirimu. Tapi doaku, semoga engkau tenang di alam penantianmu.

Tinggal Mutakin dan aku. Jujur aku sedikit heran dengan hubungan kami. Menurutku tidak ada yang namanya rivalitas diantara kami. Meski semenjak Taman Kanak-kanak kami bersekolah bersama, tidak pernah aku menganggap dia sebagai sainganku. Sainganku adalah orang lain bukan dia. Bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi hanya satu kali dia mengalahkanku dalam prestasi akademis. Itupun terjadi bukan karena dia begitu pintar, tapi akunya yang sedang bermasalah. Bahkan kalau mau jujur, prestasinya tak pernah mendekatiku sama sekali. Kalau aku diperingkat pertama, dia berada di luar lima besar. Dan ini terjadi sampai kami menginjak bangku sekolah pertama. Jadi dimataku Mutakin bukanlah saingan, atau ancaman dalam memperebutkan posisi nomer satu disekolah. Mutakin tidak pernah menjadi wakil sekolah dalam berbagai perlombaan yang membutuhkan kecerdasan otak. Maaf ya bro, ini fakta he heh eheh

Tapi beda dimata orangtuanya. Aku adalah saingan terberat buat anak bungsunya. Bahkan persaingan itu masih berlangsung sampai dengan sekarang. Kepulanganku seminggu yang lalu jadi bukti, ternyata rivalitas memang ada diantara Mutakin dan aku. Sebetulnya aku malas ketemu dengan ibunya Mutakin yang biasa ku panggil Bulik. Bukan apa-apa, tetapi pembicaraan kita tidak akan jauh dari cerita tentang kehebatan anaknya. Padahal aku merasa tidak ada persaingan sama sekali antara kami. Aku ikut tertawa kalau temanku bahagia, aku ikut bersedih kalau temanku menangis, dan aku sangat bahagia tatkala temanku menikah dan punya seorang anak yang lucu.

Tapi aku tidak suka dibanding-bandingkan. Kalau sekarang dia menikah lebih dulu dan kemudian punya seoarang anak, ya itu Rejeki Tuhan buat dia, dan rejeki Tuhan yang sedang aku cari. Tidak perlu lah kemudian membandingkan, kamu kapan menikah dan punya anak seperti Mutakin.

Hahhhh, kenapa manusia tidak pernah puas? Selalu saja ada yang dipermasalahkan dan dipertanyakan. Dari kecil kapan kamu sunat, kemudian kapan kamu punya pacar. Setelah punya pacar, kapan pacar kamu mau dinikahi. Sstelah dinikahi, kapan kamu akan punya anak. Setelah punya anak, kapan kamu akan punya cucu. Setelah itu apalagi?

Kapan kamu akan mati? mungkin

Semua itu ada dalam impianku, hanya saja jalanku tak semudah jalan Mutakin. Garis takdir kita juga tidak sama. tapi aku berharap akan berakhir sama. Tidak tahukah engkau Bulik, perkataanmu itu menusuk hatiku? tetapi demi menyenangkanmu aku tetap senyum mendengarkanmu bicara. Tapi jangan sampai kesabaranku habis dengan bilang , Ibuku sudah mati, kok Bulik belum?

Naudzubillah jangan sampai ya Bulik

But deep inside my heart, i was really happy to meet you. Thanks for your cruel advise.

No comments: